Minggu 12 Mei 2013, PT EGI mengadakan konferensi pers bahwa mereka sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dan akan merealisasikan rencana pembangunan restoran di Babakan Siliwangi. Peletakan batu pertamanya bahkan ditargetkan sebelum bulan Ramadhan tiba. Menanggapi hal itu, Selasa 14 Mei 2013, bertempat di Aula Paguyuban Pasundan, Jl. Sumatera Kota Bandung, sejumlah tokoh masyarakat Kota Bandung berkumpul untuk menolak pembangunan restoran tersebut. Gerakan “Merebut Kembali Babakan Siliwangi” ini terus berlanjut.
Pada Senin, 20 Mei 2013 Semua elemen masyarakat yang peduli dengan Babakan Siliwangi berkumpul di Babakan Siliwangi untuk melakukan aksi berupa orasi, atraksi kesenian, pembukaan seng yang menutupi Babakan Siliwangi, dan menyampaikan penolakan kepada Pemerintah Kota. Seng Babakan Siliwangi ini selanjutnya dipamerkan di Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung. Penolakan terhadap komersialisasi Babakan Siliwangiini akan terus berlanjut selama Pemerintah Kota Bandung dan PT EGI bersikukuh untuk mendirikan restoran atau komersialisasi Babakan Siliwangi
Persoalan rencana komersialisi Babakan Siliwangi sudah berlangsung sejak lama. Berbagai gerakan untuk memprotes rencana itu dilakukan warga Bandung. Akan tetapi, PT EGI dan Pemerintah Kota Bandung tetap keukeuh akan membangun restoran di Babakan Siliwangi. Hasrat kapitalisme telah membelenggu Pemerintah Kota sehingga tidak ada kebijakan untuk menghentikan rencana komersialisasi Babakan Siliwangi. Pemerintah Kota dan PT EGI bahkan memiliki hasrat yang sangat besar untuk ngageugeuh atau menguasai Babakan Siliwangi dan merampasnya dari warga kota.
Babakan Siliwangi adalah hutan kota dan ruang publik milik warga. Karena ia ruang publik yang di dalamnya warga kota dapat belajar, bermain, beraktivitas, ia tidak boleh dikomersialisasi dalam bentuk apa pun. Ia mesti tetap menjadi ruang milik warga kota, bukan ruang yang dikuasai segelintir orang demi kepentingan komersil atau kepentingan apa pun yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja
Kekuasaan di Ruang Publik
Dalam konsep ruang publik, Habermas menyatakan bahwa sesungguhnya kekuasaan berasal dari bawah, dari rakyat, bukan dari pemerintah atau birokrat. Ruang publik bukan ruang bagi kepentingan kaum elit politik dan pengusaha. Ruang publik adalah ruang bagi warga untuk memperbincangkan persoalan-persoalan publik, beraktivitas, bermain, belajar, dan melakukan berbagai kegiatan lain. Oleh sebab itu, warga kota berhak untuk ngageugeuh atau “menguasai” Babakan Siliwangi karena Babakan Siliwangi adalah milik mereka.
Konsep menguasai di sini berasal dari konsep “kekuasaan” yang dinyatakan Hannah Arendt. F. Budi Hardiman dalam buku Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace menjelaskan bahwa “kekuasaan” (Macht) menurut Arendt adalah gerakan solidaritas atau partisipasi warga. Hal inijustru berbeda dengan dominasi struktural yang dimiliki oleh sebuah rezim. Dominasi struktural yang dimiliki sebuah rezim lebih tepat disebut dengan istilah lain, yaitu “kekerasan” (Gewalt).
Dalam konsep kekuasaan ini, tidak terdapat kemampuan untuk memaksa atau memerintah orang lain, melainkan pada kenyataan bahwa warga negara berkumpul dan bertindak bersama untuk mengubah keadaan. Lokus kekuasaan di sini tidak berasal atau bukan berada di meja-meja para birokrat atau pun di kantor-kantor para pengusaha, melainkan di dalam forum-forum, inisiatif-inisiatif, atau gerakan-gerakan warga yang peduli dengan kepentingan publik. Hutan Kota Babakan Siliwangi adalah ruang publik yang di sana warga kota memiliki “kekuasaan”untuk membuka forum-forum, mendiskusikan inisiatif-inisiatif, gerakan-gerakan untuk kepentingan publik, dan berbagai aktivitas lainnya.
Warga kota mesti bergerak untuk menjaga dan mempertahankan agar hutan kota miliknya itu tidak dirampas untuk kepentingan komersial yang menguntungkan kapitalis. Warga kota mesti melakukan gerakan untuk menyampaikan aspirasi mereka, melawan dominasi kapitalis dan kesewenang-wenangan pemerintah. Hutan kota Babakan Siliwangi adalah “rumah” bagi kepublikan warga kota.
Mitos “Hijau” dan Hegemoni Kapitalis
Dalam konferensi Persnya, PT EGI mengatakan bahwa pembangunan restoran di Babakan Siliwangi tidak akan merusak lingkungan karena PT EGI akan mengusung konsep “Keep Baksil Green”. Jika dilihat dalam pandangan Barthes, penggunaan konsep “Keep Baksil Green” dapat dikategorikan sebagai mitos. Mitos adalah sebuah bentuk distorsi, deformasi, atau sebuah topeng. Mitos bekerja dengan “perampokan bahasa” (language robbery).
Penggunaan konsep “Keep Baksil Green” adalah sebuah perampokan bahasa. Kata “hijau” (green) yang merujuk pada sebuah gerakan pelestarian lingkungan atau gerakan ramah lingkungan (go green, keep green, green lifestyle) dirampok demi kepentingan komersial dan menutupi tindakan perusakan lingkungan. Pembangunan restoran di lahan hutan kota bagaimana pun akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan merampas hak warga kota atas ruang publiknya. Mitos bekerja dengan cara pewajaran atau naturalisasi sehingga hal ini dapat ditutupi.
Dengan konsep hijau ini, mitos akan bekerja membuat warga kota mempercayai bahwa tidak terjadi apa-apa di Babakan Siliwangi, semuanya berjalan dengan wajar tanpa ada yang harus dipertanyakan atau diprotes. Dengan hal ini pula, hegemoni kapitalis akan mendominasi wargakota. Tony Thwaites, et.al., dalam Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik; menyatakan bahwa hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya nilai dan kepentingan kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya sehingga menjadi milik mereka sendiri, dan telah disetujui.
Hegemoni masuk ke dalam kehidupan orang tanpa mereka sadari bahwa mereka telah dikuasai oleh hal tertentu. Mereka akan menganggap dan menyadari bahwa hal tersebut adalah bagian dari hidupnya. Dengan hegemoni, pembangunan restoran di Babakan Siliwangi hadir seakan-akan sebagai hal yang natural, harus kita terima, setujui, dan kita dukung.
Pembangunan restoran di Babakan Siliwangi belum dilakukan, mesti sudah dipastikan akan dilakukan Pemerintah Kota Bandung dan PT EGI. Belum terlambat untuk mencegah (tidak hanya menolak) pembangunan itu. Warga kota mesti bergerak dan menunjukkan bahwa warga kotalah nungageugeuh Babakan Siliwangi, bukan segelintir orang yang memiliki modal itu! Dan menunjukkan kepada mereka, Ieu leuweungaing, lain nu maneh!***
Jejen Jaelani,
Anggota Forum Studi KebudayaanInstitut Teknologi Bandung