Pada tanggal 27 Juni 2013 Pemerintah Kota Bandung mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) yang sebelumnya diberikan kepada PT Esa Gemilang Indah (EGI), perusahaan swasta yang ingin mendirikan restoran di Babakan Siliwangi. Surat keputusan pencabutan IMB bernomor 503-795/BPPT Tentang Surat Ijin Pencabutan IMB Nomor 503.644.2/4067/BPPT atas nama Iwan Sunaryo (Direktur PT EGI) untuk Pemerintah Kota Bandung. Surat pencabutan IMB ditetapkan atas nama Walikota Bandung dan ditandatangani oleh Dr. H. A. Maryun Sastrakusumah MH, Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BBPT) Kota Bandung. BPPT adalah lembaga yang berwenang di bidang perizinan.
Pencabutan IMB itu dilatarbelakangi protes berbagai kalangan atas kebijakan yang dinilai mengancam kelestarian Babakan Siliwangi sebagai hutan kota dunia (world city forest). Aktivis lingkungan, seniman, penggiat organisasi masyarakat, ahli hukum, dan kalangan lainnya menentang privatisasi dan komersialisasi ruang terbuka hijau di kawasan Lebak Siliwangi yang kian menyempit. Polemik privatisasi dan komersialisasi Babakan Siliwangi seakan menjadi penanda tarik ulur kepentingan antara Pemerintah Kota, perusahaan swasta, serta warga kota Bandung yang membutuhkan ruang terbuka hijau (RTH) yang terbebas dari kepentingan ekonomi pengusaha.
Pada tanggal 20 Mei 2013 warga kota yang tergabung dalam Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) mengadakan arak-arakan dari Babakan Siliwangi ke Balai Kota dengan mengusung lembaran seng yang sebelumnya menutupi hutan kota itu. Lebih dari 7000 orang turut menandatangi petisi warga yang menentang privatisasi, komersialisasi, dan alih fungsi hutan kota itu. Dalam arak-arakan ini warga secara terbuka menyatakan sikapnya untuk menolak kebijakan Pemkot Bandung yang memberi izin terhadap pembangunan restoran dan kompersialisasi Babakan Siliwangi terhadap PT EGI.
Dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh FWPBS di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Bandung, beberapa waktu lalu, Walikota Dada Rosada menjanjikan, pihaknya akan segera mencabut IMB PT EGI di Babakan Siliwangi. Pernyataan Dada segera disusul oleh desakan yang kian kuat dari kalangan warga agar pemerintah kota secepatnya mencabut IMB dan membatalkan perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah kota dan PT EGI. Dalam kesempatan ini juga disepakati untuk dibentuk tim khusus agar proses pencabutan IMB dapat dilakukan sesuai dengan kaidah hukum, berjalan secara transparan dan akuntabel, serta terbebas dari kepentingan politik praktis.
DPRD Kota Bandung, yang juga sempat didatangi kalangan yang memprotes rencana pembangunan restoran itu, telah pula menyatakan kesetujuannya dengan aspirasi warga. Nota komisi telah disampaikan kepada pimpinan Dewan agar segera menyampaikan rekomendasi kepada Walikota. Dalam nota komisi antara lain dinyatakan bahwa IMB untuk PT EGI harus dicabut dan PKS antara pemerintah kota dan PT EGI harus dibatalkan. Proses ini ditempuh oleh FWPBS agar negara dapat berperan untuk menegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat, terkait dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan peningkatan luas RTH di kota Bandung.
Dalam Nota Komisi A tanggal 11 Juni lalu, yang ditandatangi oleh Ketua Komisi A Haru Suandharu dan Sekretaris Komisi A Donny Kusmedi, dinyatakan bahwa perjanjian kerjasama antara pemerintah kota dan PT EGI bertentangan dengan UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Perda No. 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung. Dinyatakan pula, PT EGI sudah tiga tahun sejak Agustus 2010 “tidak dapat melaksanakan kewajibannya berupa kontribusi kepada Pemerintah Kota Bandung”. Selain itu Dewan juga menekankan bahwa Babakan Siliwangi seharusnya tetap berfungsi sebagai “kawasan lindung dan kawasan publik”.
Protes warga atas ancaman alih fungsi Babakan Siliwangi telah berlangsung lama, setidaknya sejak tahun 2002. Berbagai kalangan sempat menyatakan keberatan dengan berbagai cara ketika, misalnya, tersiar rencana pembangunan kondominium di Babakan Siliwangi. Protes serupa menguat lagi belakangan ini ketika tersiar kabar bahwa pemerintah kota telah memberikan IMB kepada PT EGI untuk membangun restoran di Babakan Siliwangi, dan perusahaan itu menyatakan akan segera meletakkan batu pertama di situ. Protes dinyatakan melalui pentas seni, unjuk rasa, dengar pendapat di DPRD Kota Bandung, pembuatan petisi, publikasi pernyataan, dan sebagainya.
Hutan Kota Babakan Siliwangi merupakan salah satu ruang terbuka hijau yang masih tersisa di kawasan utara Kota Bandung. Hutan kota ini termasuk ke dalam kawasan Lebak Siliwangi atau Lebak Gede, lembah di sekitar Jalan Siliwangi (dulu Dr. De Grootweg). Dari masa ke masa kawasan hutan kota ini cenderung menyempit. Hal ini merupakan cermin dari semakin menyusutnya RTH kota Bandung yang berdasar data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) 2007 hanya sebesar 8.76% dari luas kota secara keseluruhan. Sangat jauh dari ketentuan UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan RTH sebesar 30% dari luas kota.
Pada dasawarsa 1970-an sewaktu Kota Bandung dipimpin Walikota Otje Djundjunan didirikan sebuah warung makan di tempat yang kini dikenal dengan sebutan Babakan Siliwangi sebelum bangunan itu hangus terbakar. Pada zaman pemerintahan Walikota Ateng Wahyudi di kawasan Lebak Siliwangi dibangun sarana olah raga dan gedung pertemuan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dikenal dengan Sarana Olah Raga (Sorga) dan Sarana Budaya Ganesha (Sabuga).
Pada zaman pemerintahan Walikota Aa Tarmana dibuat perjanjian kerjasama pengelolaan Babakan Siliwangi antara pemerintah kota dan perusahaan swasta. Adapun pada zaman pemerintahan Walikota Dada Rosada perusahaan swasta yang ingin membuka usaha di kawasan publik itu mendapat izin. Alih fungsi ruang publik seperti inilah yang senantiasa ditentang oleh berbagai kalangan, terlebih ketika kawasan hijau di belahan utara Kota Bandung kian hari kian tergerus oleh merebaknya bisnis properti.
Dalam rangkaian kegiatan menentang alih fungsi Babakan Siliwangi, yang diprakarsai oleh FWPBS melalui gerakan kebudayaan selama ini, tercetus pula gagasan mengenai peluang menjadikan Babakan Siliwangi dan sekitarnya sebagai arboretum atau kebun raya untuk memperkuat fungsinya sebagai paru-paru kota. Berbagai pihak juga mengusulkan untuk menjadikan Babakan Siliwangi sebagai wilayah konservasi lingkungan dan budaya. Ahli geografi T. Bachtiar dan herbarian senior Juandi Gandhi, misalnya, mengusulkan agar di Babakan Siliwangi warga menanam tetumbuhan langka, khususnya tetumbuhan yang namanya telah melekat pada toponimi di Tatar Sunda semisal biru, ganitri, kopo, loa, dan sebagainya.
Gerakan budaya yang diprakarsai oleh FWPBS melibatkan berbagai kalangan, baik perseorangan maupun lembaga. Selain sekitar 7000 orang pendukung petisi Save Babakan Siliwangi, inisiatif ini berasal dari kalangan lembaga yang antara lain terdapat Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Aliansi Keluarga Sunda Nusantara (Aksan), Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Bamus Sunda, Forum Diskusi Hukum (Fordiskum) Bandung, Institut Nalar Jatinangor, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Paguyuban Sundawani Wirabuana, Kasepuhan Cipageran, Paguyuban Pasundan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Komunitas Gerbong Bawah Tanah, Sanggar Olah Seni (SOS), Common Room Networks Foundation (Common Room), Komunitas Pelukis Mural Seng Babalan Siliwangi, Bandung Creative City Forum (BCCF), Greeneration Indonesia (GI), Komunitas Sahabat Kota, FK3I, SPK PT DI, HMTL ITB, FMN, UKSK UPI, Komunitas Backsilmove, Mapala, Korgala Unpar, Wakcabalaka, dan banyak lagi. ***